Pada
tanggal 14 – 17 Maret 2017, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Lembaga
Adminstrasi Negara menagdakan TOT bagi Widyaiswara LAN tentang Implementasi
Bahan Ajar Kasus pada Diklat ASN di Pusat. Diklat yang diselenggarakan selama 4
hari ini di laksakan di Hotel Margo Depok. TOT diselenggarakan bertujuan mewujudkan keadilan pada semua sisi
pembangunan, maka Aparatur Sipil Negara (ASN) mempunyai peran yang strategis
dalam menentukan kebijakan pemerintahan dan pembangunan di tingkat Nasional dan
di daerah. Peran
penting saat ini adalah mengenai
Strategi Pengarusutamaan Gender yang disingkat dengan (PUG) dalam pelaksanaan Pembangunan. Untuk
itu setiap ASN diharapkan dapat memahami Pengarusutamaan Gender sebagai bagian
dari metodologi pelaksanaan Pembangunan. TOT ini yang diikuti oleh para widyaiswara dari
beberapa Kementerian berjumlah 40 orang.
Dalam
usaha percepatan terwujudnya keadilan dan kesetraaan gender khususnya dalam
bidang pendidikan, dilakukan melalui penddikan dan pelatihan (Diklat). Implementasi
Pelaksanaan Pengarusutamaan gender dilakukan melalui proses pembelajaran dengan
menggunakan kasus-kasus, sehingga peserta diklat dapat memahami esensi
kesetaraan dan keadilan gender. Disinilah para widyaiswara yang akan
menjalankan misi pelaksanaan Pengarusutamaan Gender.
Mengenai gender, banyak orang yang mempunyai persepsi
bahwa gender selalu berkaitan dengan perempuan, sehingga setiap kegiatan yang
bersifat perjuangan menuju kesetaraan dan keadilan gender hanya dilakukan
dan diikuti oleh perempuan tanpa harus melibatkan laki-laki. Gender
bukanlah sebuah masalah kaum perempuan, tetapi gender sendiri merupakan
permasalahan yang terjadi di masyarakat dan di sebabkan pula oleh masyarakat
itu sendiri. Gender merupakan sebuah sosialisasi kemudian berproses menjadi
internalisasi (nilai-nilai dalam masyarakat).
Khusus dalam dunia pendidikan, antara siswa laki-laki
dan perempuan pun terdapat kesenjangan yang cukup signifikan. Bahkan sejarah
Indonesia zaman dulu mencatat bahwa pada masyarakat tertentu terdapat adat
kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan perempuan
dalam pendidikan formal. Bahkan terdapat nilai yang menyatakan bahwa perempuan
tidak perlu sekolah terlalu tinggi, toh mereka akan kembali ke dapur
juga. Ada pula anggapan seorang gadis harus cepat-cepat menikah agar tidak
menjadi perawan tua. Paradigma seperti inilah yang menjadikan para perempuan
menjadi terpuruk dan dianggap rendah oleh kaum laki-laki. Masalah gender masih
banyak terjadi kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud
dengan konsep gender dan kaitannya dengan
perjuangan perempuan untuk mendapatkan kesetaraan dan
keadilan.
Kata “Gender” berasal dari bahasa latin “genus”,
berarti tipe atau jenis. Gender
merupakan ciri-ciri peran dan tanggung jawab yang dibebankan pada
perempuan dan laki-laki, yang ditentukan secara sosial dan bukan berasal dari
pemberian Tuhan atau kodrat. Konsep gender adalah hasil konstruksi sosial yang
diciptakan oleh manusia, yang sifatnya tidak tetap, berubah-ubah serta dapat
dialihkan dan dipertukarkan menurut waktu, tempat dan budaya setempat dari satu
jenis kelamin kepada jenis kelamin lainnya.
Kata Gender pun mulai masuk dalam struktur kebijakan
negara yakni Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) yang menyatakan bahwa Meningkatkan kedudukan dan peran perempuan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh
lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender
(KKG).
Enkulturasi (kesalahan gender yang mendarah daging di
masyarakat gender) yang sudah terjadi bertahun-tahun silam di masyarakat secara
tidak langsung menjadikan perempuan lebih cenderung di subordinasikan oleh kaum
laki-laki. Hal ini jelas mengakibatkan perempuan semakin terpojokkan. Perempuan
sering dianggap sebagai makhluk yang lemah dan tidak sanggup melakukan
pekerjaan yang berat.
Gender adalah perbedaan perilaku (behavior difference) antara laki-laki
dan perempuan sebagai hasil konstruksi secara sosial, yakni perbedaan anatara
laki-laki dan perempuan yang sifatnya bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan
melainkan diciptakan atau dikontruksikan oleh manusia atau masyarakat melalui
suatu proses sosial dan kultural yang panjang. Gender tidak dibawa sejak lahir,
melainkan terbentuk ketika berinteraksi sosial mulai usia anak-anak, usia
dewasa hingga usia tua. Dalam waktu yang lama, peran atau pembagian kerja itu
diyakini dan dipercaya kebenarannya, sehingga melembaga dengan kuat. Masyarakat
dari generasi ke generasi percaya akan pembagian kerja semacam itu, sehingga
terbangun hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Secara
umum masih banyak yang berpandangan bahwa pekerjaan masak, mengurus rumah dan
anak adalah tugas dan kewajiban perempuan. Hal ini tercipta dari keluarga dan
masyarakat yang oleh budaya dan interprestasi agama. Padahal pekerjaan tersebut
tidak menutup kemungkinan dapat dikerjakan oleh laki-laki. Pandangan tersebut ini dapat menciptakan pembedaan antara
laki-laki dan perempuan yang disebut pembedaan gender. Ini sering mengakibatkan
peran sosial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Peran ini dipelajari
dan berubah-ubah dari waktu ke waktu dan dari suatu tempat ke tempat lain.
Peran sosial atau yang sering disebut peran gender ini berpengaruh terhadap
pola relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki yang sering disebut sebagai
relasi gender.
Ketidakadilan gender terjadi karena
adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradapan manusia
dalam berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja tetapi juga
dialami oleh laki-laki. Meskipun secara keseluruhan ketidakadilan gender dalam
berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh kaum perempuan, namun
ketidakadilan gender itu berdampak pula terhadap laki-laki.
Ketimpangan relasi atau
ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dimana salah
satu pihak menjadi korbannya, Akibat dari ketimpangan tersebut ini bisa menimpa
laki-laki maupun perempuan dan bahkan keduanya sebagai korbannya.
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender akibat diskriminasi
gender, sebagai berikut:
1. Marginalisasi
1. Marginalisasi
Proses marjinalisasi atau pemiskinan
yang merupakan proses, sikap, perilaku masyarakat maupun kebijakan negara yang
berakibat pada penyisihan/ pemiskinan bagi perempuan atau laki-laki.
Contoh:
a. Perempuan yang bekerja di Perusahaan
diperlakukan sebagai “lajang” dan karenanya tidak mendapatkan berbagain
tunjangan sebagaimana yang didapatkan rekan kerja yang laki-laki.
b. Banyak pekerja perempuan kurang
dipromosikan menjadi kepala cabang atau kepala bagian dalam posisi birokrat.
c. Politisi perempuan kurang mendapat
porsi yang sama dibandingkan dengan politisi laki-laki.
d. Peluang untuk menjadi pimpinan di TNI
(jenderal) lebih banyak diberikan kepada laki-laki daripada perempuan.
2. Subordinasi
2. Subordinasi
Subordinasi adalah suatu keyakinan
bahwa satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan
jenis kelamin lainnya, sehingga ada jenis kelamin yang merasa dinomorduakan
atau kurang didengarkan suaranya, bahkan cenderung dieksploitasi tenaganya.
Contoh:
a. Dalam kondisi keuangan rumah tangga
yang terbatas, sering kali kita menemukan keputusan mengenai dana untuk
menyekolahkan, anak laki-laki lebih diprioritaskan. Ada anggapan bahwa anak
perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena nanti akhirnya ke dapur
juga.
b. Kebijakan pemerintah mengenai peraturan
tugas belajar. Laki-laki (suami) yang akan pergi tugas belajar, bisa memutuskan
dirinya sendiri. Sementara bagi seorang perempuan harus mendapatkan ijin dari
suami.
c. Banyak pekerjaan yang dianggap
sebagai pekerjaan perempuan seperti guru taman kanak-kanak, sekretaris, atau
perawat, yang dinilai lebih rendah dibanding dengan pekerjaan laki-laki
seperti direktur, dosen di perguruan tinggi, dokter, dan tentara. Hal tersebut
berpengaruh pada pembedaan gaji yang diterima oleh perempuan.
3. Pelabelan Negatif (Stereotipe)
Suatu pelabelan yang sering kali bersifat negatif secara umum terhadap
salah satu jenis kelamin tertentu. Pelabelan selalu melahirkan ketidakadilan
dan diskriminasi yang bersumber dari pandangan gender.
Contoh:
a. Di masyarakat sering beranggapan
bahwa seorang laki-laki adalah pencari nafkah, sehingga menyebabkan setiap
pekerjaan yang dikerjakan perempuan dianggap sebagai tambahan saja. Seorang
laki-laki bekerja sebagai supir dan perempuan bekerja sebagai pembantu rumah
tangga. Gaji dari kedua pekerjaan tersebut, biasanya supir lebih besar. Padahal
tidak ada yang bisa jamin bahwa
pekerjaan supir lebih berat tau lebih sulit dibandingkan pekerjaan pembantu
rumah tangga yang memasak, mencuci dan menyapu.
b. Perempuan yang keluar malam identik
dengan perempuan tidak baik-baik. Banyak penyebab mengapa mereka melakukan hal
tersebut, misalnya buruh perempuan yang mendapatkan giliran kerja malam atau
mereka harus lembur menyelesaikan pekerjaan yaang terlalu banyak.
c. Seorang laki-laki atau suami yang
mendapatan labe negatif karena harus mengerjakan pekerjaaan rumah tangga
dikarenakan istrinyanya bekerja diluar rumah.
4. Kekerasan
Suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh kaena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetepi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya.
Contoh:
a. Kekerasan dalam bentuk pemaksaan
strerilisasi dalam program Keluarga Berencana (KB) terhadap kaum perempuan.
b. Pelacuran atau prostitusi dan
pornografi termasuk bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan yang dilakukan
dengan motif tekanan ekonomi.
c. Istri tidak boleh bekerja oleh suami
setelah menikah.
d. Istri tidak boleh mengikuti segala
macam pelatihan dan kesempatan–kesempatan meningkatkan SDMnya.
5. Beban kerja Ganda
5. Beban kerja Ganda
Beban kerja ganda ini sering
dipandang dari sudut budaya sebagai bentuk pengabdian dan pengorbanan yang
mulia, yang nanti di akherat mendapatkan balasan yang setimpal. Namun demikian
harus ada suatu batas dari pengorbanan ini, karena pengorbanan yang tanpa batas
berarti menjurus kepada ketidakadilan.
Contoh:
a. Pada zaman
saat ini banyak sekali perempuan yang punya beban ganda, menjadi ibu rumah
tangga dan bekerja di luar rumah. Ada yang beralasan untuk mencukupi kebutuhan
rumah tangga maupun untuk aktualisaasi diri.
b. Seorang bapak dan anak laki-laki
setelah selesai makan, mereka akan meninggalkan meja makan tanpa merasa
berkewajiban untuk mengangkat piring kotor yang mereka pakai. Apabila yang
mencuci isteri, walaupun ia bekerja mencari nafkah keluarga ia tetap
menjalankan tugas pelayanan yang dianggap sebagai kewajibannya
Ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender yang telah diuraikan diatas, telah
banyak terjadi dalam masyarakat kita saat ini dari berbagai tingkatan, antara
lain:
a. Tingkat Negara.
Banyak kebijakan maupun hukum, Undang-undang dan
program kegiatan yang masih merefleksikan sebagian dari wajah ketidakadilan dan
ketidaksetaraaan gender.
b. Tempat kerja.
Kita masih bisa menemukan aturan-aturan kerja,
manajemen, kebijakan organisasi, dan kurikulum serta buku-buku pendidikan yang
masih memelihara ketidakadilan dan kesetraan gender.
c. Tingkat Budaya
Banyak kelompok etnik masyarakat, kultur suku-suku,
dan bahkan tafsiran keagamaan dan kepercayaan yang masih melanggengkan proses
ketidakadilan dan keseteraan gender.
d. Tingkat lingkungan keluarga atau
rumah tangga.
Proses pengambilan keputusan, pembagian kerja sampai
interaksi antar anggota keluarga mencerminkan adanya peran gender yang
merefleksikan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender antar keluarganya.
TOT tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) yang di
implementasikan ke dalam bahan ajar kasus pada Diklat ASN merupakan suatu
strategi untuk mengatasi kesenjangan gender di berbagai bidang pembangunan
politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, pertahanan keamanan, teknologi dan
lingkungan dan lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar