Follow Us @yetti Nurhayati

Selasa, 16 Januari 2018

PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM DIKLAT



Pada tanggal 14 – 17 Maret 2017, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Lembaga Adminstrasi Negara menagdakan TOT bagi Widyaiswara LAN tentang Implementasi Bahan Ajar Kasus pada Diklat ASN di Pusat. Diklat yang diselenggarakan selama 4 hari ini di laksakan di Hotel Margo Depok. TOT diselenggarakan  bertujuan mewujudkan keadilan pada semua sisi pembangunan, maka Aparatur Sipil Negara (ASN) mempunyai peran yang strategis dalam menentukan kebijakan pemerintahan dan pembangunan di tingkat Nasional dan di daerah. Peran penting saat ini adalah mengenai  Strategi Pengarusutamaan Gender yang disingkat dengan  (PUG) dalam pelaksanaan Pembangunan. Untuk itu setiap ASN diharapkan dapat memahami Pengarusutamaan Gender sebagai bagian dari metodologi pelaksanaan Pembangunan. TOT ini  yang diikuti oleh para widyaiswara dari beberapa Kementerian berjumlah 40 orang.
Dalam usaha percepatan terwujudnya keadilan dan kesetraaan gender khususnya dalam bidang pendidikan, dilakukan melalui penddikan dan pelatihan (Diklat). Implementasi Pelaksanaan Pengarusutamaan gender dilakukan melalui proses pembelajaran dengan menggunakan kasus-kasus, sehingga peserta diklat dapat memahami esensi kesetaraan dan keadilan gender. Disinilah para widyaiswara yang akan menjalankan misi pelaksanaan Pengarusutamaan Gender.
Mengenai gender, banyak orang yang mempunyai persepsi bahwa gender selalu berkaitan dengan perempuan, sehingga setiap kegiatan yang bersifat perjuangan menuju kesetaraan dan keadilan gender hanya dilakukan dan  diikuti oleh perempuan tanpa harus melibatkan laki-laki. Gender bukanlah sebuah masalah kaum perempuan, tetapi gender sendiri merupakan permasalahan yang terjadi di masyarakat dan di sebabkan pula oleh masyarakat itu sendiri. Gender merupakan sebuah sosialisasi kemudian berproses menjadi internalisasi (nilai-nilai dalam masyarakat).
Khusus dalam dunia pendidikan, antara siswa laki-laki dan perempuan pun terdapat kesenjangan yang cukup signifikan. Bahkan sejarah Indonesia zaman dulu mencatat bahwa pada masyarakat tertentu terdapat adat kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan perempuan dalam pendidikan formal. Bahkan terdapat nilai yang menyatakan bahwa perempuan tidak perlu sekolah terlalu tinggi, toh mereka akan kembali ke dapur juga. Ada pula anggapan seorang gadis harus cepat-cepat menikah agar tidak menjadi perawan tua. Paradigma seperti inilah yang menjadikan para perempuan menjadi terpuruk dan dianggap rendah oleh kaum laki-laki. Masalah  gender masih banyak terjadi kesalahpahaman tentang  apa  yang dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya  dengan perjuangan  perempuan  untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan.
Kata “Gender” berasal dari bahasa latin “genus”, berarti tipe atau jenis. Gender merupakan ciri-ciri peran dan tanggung jawab yang dibebankan pada perempuan dan laki-laki, yang ditentukan secara sosial dan bukan berasal dari pemberian Tuhan atau kodrat. Konsep gender adalah hasil konstruksi sosial yang diciptakan oleh manusia, yang sifatnya tidak tetap, berubah-ubah serta dapat dialihkan dan dipertukarkan menurut waktu, tempat dan budaya setempat dari satu jenis kelamin kepada jenis kelamin lainnya.
Kata Gender pun mulai masuk dalam struktur kebijakan negara yakni Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang menyatakan bahwa Meningkatkan kedudukan dan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender (KKG).

Enkulturasi (kesalahan gender yang mendarah daging di masyarakat gender) yang sudah terjadi bertahun-tahun silam di masyarakat secara tidak langsung menjadikan perempuan lebih cenderung di subordinasikan oleh kaum laki-laki. Hal ini jelas mengakibatkan perempuan semakin terpojokkan. Perempuan sering dianggap sebagai makhluk yang lemah dan tidak sanggup melakukan pekerjaan yang berat.
            Gender adalah perbedaan perilaku (behavior difference) antara laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi secara sosial, yakni perbedaan anatara laki-laki dan perempuan yang sifatnya bukan kodrat atau bukan ketentuan Tuhan melainkan diciptakan atau dikontruksikan oleh manusia atau masyarakat melalui suatu proses sosial dan kultural yang panjang. Gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan terbentuk ketika berinteraksi sosial mulai usia anak-anak, usia dewasa hingga usia tua. Dalam waktu yang lama, peran atau pembagian kerja itu diyakini dan dipercaya kebenarannya, sehingga melembaga dengan kuat. Masyarakat dari generasi ke generasi percaya akan pembagian kerja semacam itu, sehingga terbangun hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Secara umum masih banyak yang berpandangan bahwa pekerjaan masak, mengurus rumah dan anak adalah tugas dan kewajiban perempuan. Hal ini tercipta dari keluarga dan masyarakat yang oleh budaya dan interprestasi agama. Padahal pekerjaan tersebut tidak menutup kemungkinan dapat dikerjakan oleh laki-laki. Pandangan tersebut  ini dapat menciptakan pembedaan antara laki-laki dan perempuan yang disebut pembedaan gender. Ini sering mengakibatkan peran sosial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Peran ini dipelajari dan berubah-ubah dari waktu ke waktu dan dari suatu tempat ke tempat lain. Peran sosial atau yang sering disebut peran gender ini berpengaruh terhadap pola relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki yang sering disebut sebagai relasi gender.

Ketidakadilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradapan manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja tetapi juga dialami oleh laki-laki. Meskipun secara keseluruhan ketidakadilan gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh kaum perempuan, namun ketidakadilan gender itu berdampak pula terhadap laki-laki.
Ketimpangan relasi atau ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dimana salah satu pihak menjadi korbannya, Akibat dari ketimpangan tersebut ini bisa menimpa laki-laki maupun perempuan dan bahkan keduanya sebagai korbannya.
 Bentuk-bentuk ketidakadilan gender akibat diskriminasi gender, sebagai berikut:

1.      Marginalisasi
Proses marjinalisasi atau pemiskinan yang merupakan proses, sikap, perilaku masyarakat maupun kebijakan negara yang berakibat pada penyisihan/ pemiskinan bagi perempuan atau laki-laki.
Contoh:
a.     Perempuan yang bekerja di Perusahaan diperlakukan sebagai “lajang” dan karenanya tidak mendapatkan berbagain tunjangan sebagaimana yang didapatkan rekan kerja yang laki-laki.
b.  Banyak pekerja perempuan kurang dipromosikan menjadi kepala cabang atau kepala bagian dalam posisi birokrat.
c.    Politisi perempuan kurang mendapat porsi yang sama dibandingkan dengan politisi laki-laki.
d.    Peluang untuk menjadi pimpinan di TNI (jenderal) lebih banyak diberikan kepada laki-laki daripada perempuan.

2.      Subordinasi
Subordinasi adalah suatu keyakinan bahwa satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibandingkan jenis kelamin lainnya, sehingga ada jenis kelamin yang merasa dinomorduakan atau kurang didengarkan suaranya, bahkan cenderung dieksploitasi tenaganya.
            Contoh:
a.  Dalam kondisi keuangan rumah tangga yang terbatas, sering kali kita menemukan keputusan mengenai dana untuk menyekolahkan, anak laki-laki lebih diprioritaskan. Ada anggapan bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena nanti akhirnya ke dapur juga.
b.    Kebijakan pemerintah mengenai peraturan tugas belajar. Laki-laki (suami) yang akan pergi tugas belajar, bisa memutuskan dirinya sendiri. Sementara bagi seorang perempuan harus mendapatkan ijin dari suami.
c.    Banyak  pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti guru taman kanak-kanak, sekretaris, atau perawat,  yang dinilai lebih rendah dibanding dengan pekerjaan laki-laki seperti direktur, dosen di perguruan tinggi, dokter, dan tentara. Hal tersebut berpengaruh pada pembedaan gaji yang diterima oleh perempuan.
3.      Pelabelan Negatif (Stereotipe)
Suatu pelabelan yang sering kali bersifat negatif secara umum terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Pelabelan selalu melahirkan ketidakadilan dan diskriminasi yang bersumber dari pandangan gender.
Contoh:
a.  Di masyarakat sering beranggapan bahwa seorang laki-laki adalah pencari nafkah, sehingga menyebabkan setiap pekerjaan yang dikerjakan perempuan dianggap sebagai tambahan saja. Seorang laki-laki bekerja sebagai supir dan perempuan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Gaji dari kedua pekerjaan tersebut, biasanya supir lebih besar. Padahal tidak ada yang bisa jamin  bahwa pekerjaan supir lebih berat tau lebih sulit dibandingkan pekerjaan pembantu rumah tangga yang memasak, mencuci dan menyapu.
b.  Perempuan yang keluar malam identik dengan perempuan tidak baik-baik. Banyak penyebab mengapa mereka melakukan hal tersebut, misalnya buruh perempuan yang mendapatkan giliran kerja malam atau mereka harus lembur menyelesaikan pekerjaan yaang terlalu banyak.
c.   Seorang laki-laki atau suami yang mendapatan labe negatif karena harus mengerjakan pekerjaaan rumah tangga dikarenakan istrinyanya bekerja diluar rumah. 

4.      Kekerasan
Suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh kaena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetepi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya.
           Contoh:
a.       Kekerasan dalam bentuk pemaksaan strerilisasi dalam program Keluarga Berencana (KB) terhadap kaum perempuan.
b.      Pelacuran atau prostitusi dan pornografi termasuk bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan yang dilakukan dengan motif tekanan ekonomi.
c.       Istri tidak boleh bekerja oleh suami setelah menikah.
d.      Istri tidak boleh mengikuti segala macam pelatihan dan kesempatan–kesempatan meningkatkan SDMnya.
5.      Beban kerja Ganda
Beban kerja ganda ini sering dipandang dari sudut budaya sebagai bentuk pengabdian dan pengorbanan yang mulia, yang nanti di akherat mendapatkan balasan yang setimpal. Namun demikian harus ada suatu batas dari pengorbanan ini, karena pengorbanan yang tanpa batas berarti menjurus kepada ketidakadilan.
Contoh:
a.       Pada zaman saat ini banyak sekali perempuan yang punya beban ganda, menjadi ibu rumah tangga dan bekerja di luar rumah. Ada yang beralasan untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga maupun untuk aktualisaasi diri.
b.      Seorang bapak dan anak laki-laki setelah selesai makan, mereka akan meninggalkan meja makan tanpa merasa berkewajiban untuk mengangkat piring kotor yang mereka pakai. Apabila yang mencuci isteri, walaupun ia bekerja mencari nafkah keluarga ia tetap menjalankan tugas pelayanan yang dianggap sebagai kewajibannya
Ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender yang telah diuraikan diatas, telah banyak terjadi dalam masyarakat kita saat ini dari berbagai tingkatan, antara lain:
a.       Tingkat Negara.
Banyak kebijakan maupun hukum, Undang-undang dan program kegiatan yang masih merefleksikan sebagian dari wajah ketidakadilan dan ketidaksetaraaan gender.
b.      Tempat kerja.
Kita masih bisa menemukan aturan-aturan kerja, manajemen, kebijakan organisasi, dan kurikulum serta buku-buku pendidikan yang masih memelihara ketidakadilan dan kesetraan gender.
c.       Tingkat Budaya
Banyak kelompok etnik masyarakat, kultur suku-suku, dan bahkan tafsiran keagamaan dan kepercayaan yang masih melanggengkan proses ketidakadilan dan keseteraan gender.
d.      Tingkat lingkungan keluarga atau rumah tangga.
Proses pengambilan keputusan, pembagian kerja sampai interaksi antar anggota keluarga mencerminkan adanya peran gender yang merefleksikan ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender antar keluarganya.
 TOT tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) yang di implementasikan ke dalam bahan ajar kasus pada Diklat ASN merupakan suatu strategi untuk mengatasi kesenjangan gender di berbagai bidang pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, hukum, pertahanan keamanan, teknologi dan lingkungan dan lain 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar